close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pengamat menyebut putusan MK soal syarat capres-cawapres di bawah 40 tahun asal pernah jadi kepala daerah bisa dianulir. Google Maps/Budi Santoso
icon caption
Pengamat menyebut putusan MK soal syarat capres-cawapres di bawah 40 tahun asal pernah jadi kepala daerah bisa dianulir. Google Maps/Budi Santoso
Nasional
Selasa, 17 Oktober 2023 21:01

Pengamat sebut putusan MK soal syarat capres-cawapres bisa dianulir, ini analisisnya

Prabowo dan Ganjar sebagai capres disarankan sebaiknya tidak gegabah dan berhati-hati sebelum menetapkan Gibran menjadi cawapresnya.
swipe

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperbolehkan seseorang maju sebagai calon presiden (capres) ataupun calon wakil presiden (cawapres) sekalipun di bawah 40 tahun tetapi berpengalaman menjadi kepala daerah berpotensi dianulir. Sebab, putusan tersebut membuka celah pertentangan dengan Pasal 17 ayat (3), (5), (6), dan (7) Undang-Undang (UU) Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Pasal 17 ayat (3) UU Kehakiman memuat "Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terkait hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera". Adapun isi Pasal 17 ayat (5) UU Kehakiman adalah "Seorang hakim dan panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia memiliki kepentingan langsung maupun tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas pihak yang berperkara".

Sementara itu, Pasal 17 ayat (6) UU Kehakiman berbunyi "Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan". Lalu, Pasal 17 ayat (7) UU Kehakiman memuat "Perkara sebagaimana dimaksud ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda". 

"Jika merujuk pada Pasal 17 ayat (3) UU No. 48/2009 tersebut di atas, keberadaan Ketua MK, Anwar Usman, selaku adik ipar Presiden Jokowi sekaligus paman dari Gibran Rakabuming Raka menguatkan dugaan adanya konflik kepentingan (conflict of interests), yang bertentangan dengan spirit independensi kekuasaan kehakiman," tutur Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic), Ahmad Khoirul Umam, dalam keterangannya, Selasa (17/10).

Selain itu, sambungnya, perlu juga mencermati hubungan antara mahasiswa Universitas Surakarta (Unas), Almas Tsaqibbirru, selaku penggugat yang uji materinya dikabulkan MK dengan Gibran. Jika ia memiliki relasi kepentingan, baik langsung maupun tidak, dengan putra sulung Jokowi, maka berpotensi bertentangan dengan Pasal 14 ayat (5) UU Kehakiman.

"Terlebih lagi, dalam rapat putusan hakim (RPH) di MK kemarin, komposisi sikap hakim dalam pengambilan keputusan juga beragam dan tidak bulat, di mana terdapat 3 hakim yang setuju, 2 hakim dissenting opinion (DO), dan 2 hakim concurring opinion (CO) atau memiliki argumen berbeda tapi ikut saja bersetuju dengan keputusan mayoritas majelis hakim," jelasnya.

"Artinya, tidak menutup kemungkinan 2 orang hakim yang bersikap concurring opinion (CO) itu berada di bawah tekanan. Namun, tidak berani bersikap menghadapi kekuatan besar yang menghantui netralitas dan independensi hakim," sambungnya.

Khoirul melanjutkan, hal itu dikonfirmasi hakim konstitusi, Saldi Isra, dalam testimoninya: mengakui banyak hal aneh dalam pengambilan keputusan di MK.

Jika benar terjadi konflik kepentingan atau tekanan politik yang merusak independen dan netralitas hakim, sesuai Pasal 17 ayat (6) dan ayat (7) UU Kehakiman, maka putusan MK berpeluang dianulir, dinyatakan tidak sah, dan pihak-pihak yang diduga mengacaukan netralitas dan independensi hakim terancam hukuman administratif hingga dipidanakan.

"Selanjutnya, setelah dianulir, amar putusan bisa diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda," ujar dosen ilmu politik Universitas Paramadina ini.

Merujuk celah ketidakpastian dan lemahnya legitimasi putusan MK ini, Khoirul menyarankan Prabowo maupun Ganjar sebagai capres sebaiknya tidak gegabah dan berhati-hati sebelum menetapkan Gibran menjadi cawapresnya. "Jika langkah politik itu sudah dilakukan namun putusan MK kemudian digugat dan dianulir, maka hal itu akan menjadi amunisi yang sangat efektif untuk mendegradasi dan menghancurkan kredibilitas pencapresan mereka."

Ia mengingatkan, waktu pendaftaran pasangan capres-cawapres sangat singkat dan segera ditutup. "Jika para capres salah langkah dan menentukan strategi, maka deklarasi pasangan capres-cawapres yang bisa teranulir akan memunculkan daya rusak yang signifikan menjelang Pilpres 2024 mendatang," tandasnya. 

img
Fatah Hidayat Sidiq
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan